Latest Post

Mau Lebih Irit? Menikahlah!

Written By Unknown on Sabtu, 03 November 2012 | 22.24


Banyak orang manunda dan takut menikah lantaran khawatir menambah biaya, fakta menunjukkan,   menikah cara terbaik untuk menghemat uang, demikian penelitian terbaru yang dimuat Time of India, Ahad (22/07/2012). Karena kehidupan pernikahan umumnya mendorong pengorbanan dan penghematan daripada melakukan pengeluaran semena-mena.

Berdasarkan sebuah penelitian baru-baru ini di Inggris, para peneliti menemukan bukti bahwa pasangan yang telah menikah umumnya memang dapat melakukan penghematan. Mereka umumnya dapat menghemat sekitar 68 Pound per bulan dan mencapai 800 Pound per tahun.

Dalam pernikahan akan muncul ide memiliki target bersama seperti menabung untuk membeli rumah, untuk biaya keluarga, atau membangun rumah. Keinginan-keinginan tersebutlah yang akan memicu pasangan agar menjadi lebih irit dalam pengeluaran.

Sekitar 57 persen peserta uji coba pun mengatakan, suami atau istri berperan dalam melakukan prosese penghematan itu.
"Hal yang baik melihat orang-orang yang berhubungan saling memotivasi satu sama lain untuk menyimpan sejumlah besar uang," ungkap John Prout dikutip Daily Mail.

Bagi sebagian orang, pengaruh pasangan mereka memiliki efek dramatis. Satu dari lima pasangan mengaku bisa menghemat sedikitnya 200 Pound lebih per bulan dan mencapai 2.400 Pound selama setahun.

Dalam hal ini, kaum pria yang senang menghabiskan uang untuk otomotif atau keluar malam akan sedikit tertekan saat hidup bersama pasangan. Namun mereka akan terbiasa dengan sendirinya, setelah melakukan adaptasi.

Terbukti, pria mampu menyimpan rata-rata 85 Pound setiap bulan, karena pengaruh pasangan mereka dibandingkan kaum wanita yang hanya mampu menyimpan 50 Pound. Sementara pria berusia 25-34 tahun akan sangat terpengaruh oleh pasangannya dan terbukti mampu menghemat sekitar 100 Pound setiap bulan.

Penelitian ini menemukan bukti bahwa sedikit pengeluaran yang dilakukan pria akan memaksa kaum wanita, untuk juga melakukannya meski berat untuk melakukannya. Sementara sebanyak 15 persen wanita yang telah menikah mengaku termotivasi untuk menyimpan lebih, karena kebiasaan buruk pasangannya dalam mengelola keuangan.
Lebih Bahagia
Sebelumnya, para peneliti dari Michigan State University telah menemukan bahwa orang yang sudah menikah cenderung lebih bahagia selama hidup daripada orang yang belum menikah. Studi ini diterbitkan dalam Journal of Research in Personality baru-baru ini.

Menurut para peneliti, pernikahan tampaknya untuk melindungi terhadap penurunan normal dalam kebahagiaan saat dewasa.

"Studi kami menunjukkan bahwa orang rata-rata lebih bahagia daripada mereka tidak menikah," ujar Stevie C.Y. Yap, seorang peneliti dari departemen psikologi MSU seperti dilansir ScienceDaily baru-baru ini.
Pandangan ini dibuktikan secara ilmiah oleh para peneliti di Michigan State University (MSU) yang dirilis diJournal of Research in Personality.*

Temuan Baru, Membesarkan Anak adalah Pekerjaan Membahagiakan

Banyak pasangan menikah yang berpikir bahwa menjadi orangtua adalah pekerjaan yang sangat berat dan melelahkan. Dari hasil penelitian terbukti membesarkan anak dan menjadi orangtua itu sangat membahagiakan.

Penelitian terbaru dari psikolog di 3 universitas di Amerika Utara menemukan bahwa pasangan yang menjadi orangtua memiliki kadar kebahagiaan yang lebih besar dan hidupnya lebih berarti daripada pasangan yang tidak atau belum memiliki anak.

Penemuan ini menunjukkan bahwa orangtua akan merasa lebih bahagia saat mengasuh anak-anaknya daripada melakukan aktivitas harian lainnya.

Peneliti juga menunjukkan bahwa manfaat 'parenthood' atau menjadi orangtua tampaknya lebih konsisten terlihat pada pria yang lebih tua.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Psychological Science tersebut menyatakan bahwa menjadi orangtua memberikan lebih banyak manfaat, meskipun membutuhkan tanggung jawab lebih besar.

Bahkan penelitian ini memunculkan perspektif evolusioner bahwa menjadi orang tua bisa jadi merupakan kebutuhan mendasar manusia.

"Serangkaian studi ini menunjukkan bahwa orantua bukanlah 'makhluk yang menyedihkan' seperti yang kita kira selama ini," ujar psikolog dari University of British Columbia, Prof. Elizabeth Dunn yang melakukan studi ini bersama koleganya dari University of California, Riverside and Stanford University seperti dilansir dari Health24, Rabu (23/5/2012) seperti dikutip detikhealth.

"Jika Anda menghadiri sebuah pesta makan malam yang besar, temuan kami menunjukkan bahwa orangtua yang ada di dalam ruangan itu akan sama bahagianya atau lebih bahagia daripada tamu-tamu yang tidak memiliki anak".

Dalam studi, para peneliti menguji apakah orang tua merasa lebih bahagia daripada rekan-rekannya yang tidak memiliki anak; apakah orangtua merasa memiliki momen-momen dalam hidup yang lebih baik daripada pasangan yang bukan orangtua; dan apakah orangtua mengalami perasaan positif lebih besar ketika mengasuh anak-anaknya daripada melakukan aktivitas harian lainnya.

Konsistensi temuan ini didasarkan pada data dan partisipan di Amerika Serikat dan Kanada yang memberikan bukti kuat sekaligus menantang kepercayaan bahwa keberadaan anak-anak seringkali dikaitkan dengan penurunan kesejahteraan keluarga, ungkap peneliti.

Studi tersebut mengidentifikasi usia dan status pernikahan sebagai faktor kebahagiaan oran tua.

"Kami menemukan bahwa jika usia Anda lebih tua (dan diasumsikan lebih dewasa) dan menikah (dan diasumsikan memiliki dukungan sosial dan finansial yang memadai) maka Anda cenderung hidup lebih bahagia jika Anda memiliki anak dibandingkan rekan-rekan Anda yang tidak memilikinya," ujar peneliti lainnya, Sonja Lyubomirsky, profesor psikologi dari University of California, Riverside.

Namun temuan ini tidak berlaku bagi orang tua tunggal atau orang tua yang masih sangat muda.

Secara khusus, ayah adalah pihak yang menunjukkan kadar kebahagiaan, emosi positif dan arti hidup lebih besar daripada pasangan yang tak memiliki anak.

"Menariknya, kadar kebahagiaan yang lebih besar pada pasangan orangtua lebih konsisten ditemukan pada ayah ketimbang ibu," kata Dunn.

Para peneliti juga menemukan bahwa tekanan yang biasa dikaitkan pada kondisi orang tua tunggal tidaklah menghapuskan perasaan positif yang lebih besar karena memiliki anak.

"Namun kami tak mengatakan bahwa menjadi orangtua membuat semua orang bahagia, namun peran itu bisa dikaitkan dengan kebahagiaan dan arti hidup yang lebih besar," kata Lyubomirsky.*

Ini Dia Wajah Orang Mesir Kuno


Potret-potret yang dilukis di atas panel penutup peti mati berisi mumi orang-orang Mesir kuno ditampilkan di kota Manchester, Inggris.
Panel peti mati yang jarang dipamerkan ke publik tersebut dipajang di Perpustakaan John Rylands. Benda langka tersebut dihibahkan untuk Museum Manchester oleh pengusaha kapas Jesse Haworth pada tahun 1921.
Menurut kurator museum Campbell Price, wajah-wajah dalam lukisan yang dikenal sebagai potret Fayum itu tampak sangat modern.
“Yang mengagumkan adalah orang-orang yang dilukis oleh para seniman itu terlihat seolah mereka berkebangsaan Yunani dan Romawi, dan bukan Mesir kuno, mengindikasikan betapa beragamnya kebudayaan di Mesir 2.000 tahun lalu,” kata Price. “Potret-potret itu bisa ditentukan umurnya dari gaya rambut atau perhiasan, menunjukkan betapa mode sangat cepat berganti hampir dua ribu tahun silam. Mereka tampak sangat modern dan mencuri perhatian Anda dalam cara yang berbeda dengan topeng mumi Mesir.”
Artefak-artefak itu memberikan “jendela langka ke kehidupan manusia di poin-poin kunci dalam sejarah Mesir, ketika Mesir adalah sebuah dunia Mediterania luas yang didominasi oleh Kekaisaran Romawi,” kata Dr Robert Maza, kurator pembantu dalam pameran itu yang berasal dari Universitas Manchester.
Lukisan itu dibuat pada tahun 150 Masehi ketika Mesir menjadi bagian kekaisaran Romawi. Ditemukan di Fayum dekat Kairo saat penggalian arkeologi tahun 1888 dan 1911 oleh arkeolog zaman Victoria William Flinders Petrie.
Haworth adalah penyandang dana dari penggalian arkeologi yang dilakukan Petrie, dan banyak hasil temuannya kemudian menjadi koleksi pribadi Haworth.
Papirus berisi Injil Maria yang asli, yang oleh beberapa ahli dikatakan ditulis oleh Maria Magdalena, serta dokumen sensus juga dipamerkan dalam eksibisi itu. Papirus itu dikoleksi oleh pendiri Perpustakaan John Rylands Enriqueta Rylands di awal abad ke 20.
Kurator pendamping dalam pameran itu, Professor Kate Cooper, mengatakan kertas-kertas tersebut menunjukkan “sisi sejarah yang terlupakan.”
"Misalnya bagian-bagian Injil Maria yang mengatakan bahwa wanita harus memiliki peran pemimpin di gereja Kristen, pandangan yang berusaha ditekan oleh Gereja [pada abad] pertengahan," kata Cooper. Demikian dilansir BBC (19/7/2012).

Ilmuwan Kembangkan Alat Tes HIV Murah

Ilmuwan Kembangkan Alat Tes HIV MurahIlmuwan Inggris berhasil mengembangkan tes dengan biaya murah yang dapat mendeteksi virus HIV. 

Para peneliti dari Impercial College di London mengatakan alat ini dapat membantu pengujian HIV dan penyakit-penyakit lainnya di berbagai belahan dunia, di mana metode pengujian lain dinilai terlalu mahal. Namun, prototipe alat ini masih memerlukan pengujian lebih lanjut. 

Tes tersebut dapat mengonfigurasi tanda unik sebuah penyakit atau virus, seperti protein yang ditemukan di permukaan HIV. Jika penanda itu hadir, reaksi kimianya akan berubah. Alat akan menunjukkan warna biru jika positif dan merah jika negatif. 

Peneliti mengatakan teknologi sederhana ini memungkinkan hasil tes dilihat dengan mata telanjang. 

"Metode ini sebaiknya digunakan ketika kehadiran molekul target dalam konsentrasi rendah dapat meningkatkan diagnosa penyakit. Misalnya, sangat penting untuk mendeteksi beberapa molekul pada konsentrasi ultra rendah untuk menguji adanya kanker setelah pengangkatan tumor," ujar Prof Molly Stevens. 

"Tes ini juga dapat membantu diagnosa pasien yang terinfeksi HIV jika virusnya terlalu rendah untuk dideteksi dengan metode biasa," tambahnya. 

Tes awal menunjukkan kehadiran penanda virus HIV dan kanker prostat bisa terdeteksi. Namun, uji coba dalam skala luas dibutuhkan sebelum alat ini dapat digunakan secara klinis. Para peneliti berharap desain mereka dapat 10 kali lebih murah dari tes biasa. (Metrotv/OL-9)

Berbaik Sangka kepada Allah


SETIAP kali kita memasuki bulan Dzulqa`dah hingga Dzulhijjah, selain bicara soal haji, biasanya kita kembali membahas sosok Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Kedua sosok ini berikut keluarganya telah disinggung oleh Allah dalam Al-Qur`an yang isinya memerintahkan kepada kita supaya meneladani Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.” (QS: Al-Mumtahanah: 04).

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari Ibrahim, salah satunya prasangka baiknya kepada Allah. Berbaik sangka dalam bahasa Arab nya adalah Husnud Dzan. Dalam kitab Hilyatul Auliya` disebutkan tiga sebab yang menguatkan sikap tawakkal kita kepada Allah, berbaik sangka kepada Allah, mengilangkan prasangka buruk kepada Allah, dan rela atas keputusan yang datang dari Allah.

Salah satu sikap Husnud Dzan Nabi Ibrahim terlihat secara gamblang pada saat Allah memerintahkan beliau untuk memindahkan Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi, ke Makkah yang kala itu sangat tandus, kering kerontang, tidak ada kehidupan, bahkan persediaan air sekalipun. Setelah sebelumnya tinggal di sebuah negeri yang gemah ripah loh jianawi, tiba-tiba tanpa pemberitahun terlebih dahulu, Allah perintahkan Ibrahim untuk mengajak istri dan bayinya pindah ke negeri tersebut.

Sebagai seorang hamba Allah yang memiliki kekuatan iman dan tawakkal, perintah Allah dilaksanakan sebaik-baiknya. Adapun Hajar, ia pada awalnya justru bertanya-tanya mengapa suaminya ‘tega’ mengajaknya pindah ke negeri yang mati sunyi ini? Apakah dia tidak merasa kasihan?

Tidak lama setelah sempat terbesit kerisauan ini, tanda tanya pada diri Hajar menjadi pupus ketika Ibrahim mengatakan bahwa ini adalah perintah Allah. Perasaan was-was yang sempat hinggap pada Hajar sirna sudah. Ibrahim dan istrinya meyakini betul bahwa segala keputusan dan perintah Allah pasti mengandung manfaat dan kemaslahatan. Sebaliknya, setiap keputusan yang mengandung larangan-Nya pasti karena di dalamnya mengandung kerusakan dan kebinasaan.

Semua keputusan Allah bermula dari Dzatnya yang Maha Mengetahui. Dialah yang paling tahu apa yang terbaik dan yang tidak untuk hamba-nya. Perpindahan Nabi Ibrahim dan keluarga memberi ilham tersendiri kepada kita bahwa hidup tidak selamanya selalu berada dalam kenyamanan dan keteraturan.

Hidup yang tekadang ada di bawah dan di atas, kadang berada dalam posisi basah atau kering, kadang berada dalam suasana menyenangkan atau menyesakkan, membuat  kita harus lebih yakin bahwa di balik persoalan dan probelamtika kehidupan selalu ada sisi positif yang dapat diambil.

Begitu banyak kita melihat oknum hamba Allah yang merasa putus asa, galau, dan risau atas persoalan hidup yang tengah dihadapinya. Tidak sedikit yang mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidup secara mengenaskan. Ada yang gantung diri karena takut miskin; ada yang memotong urat nadi karena malu diolok-olok belum punya pacar; ada pula yang bakar diri dengan mengajak anaknya yang masih kecil karena problem ekonomi, dan sebagainya.
Padahal Rasul jelas-jelas memberi nasihat yang artinya, “Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal kecuali ia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah SWT.”
Kadangkala kita mengira bahwa apa yang kita sukai sudah pasti baik di mata Allah padahal banyak hal yang disukai manusia ternyata berakibat tidak baik untuk diri mereka sendiri. Atau, bisa jadi kita tidak menyukai sesuatu yang justru itu baik di sisi Allah.

Imam Malik, dalam bukunya Al-Muwatha` meriwayatkan bahwa Abu `Ubaidah ibn al-Jarrah, sahabat Nabi yang memimpin pasukan Islam menghadapi Romawi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, suatu ketika menyurati Umar, menggambarkan kekhawatirannya akan kesulitan menghadapi pasukan Romawi.

Umar menjawab, “Betapapun seorang Muslim ditimpa kesulitan, Allah akan menjadikan sesudah kesulitan itu kelapangan, karena sesungguhnya satu kesulitan tidak akan mampu mengalahkan dua kelapangan.”

Kesulitan dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa berputar menimpa diri manusia, silih berganti. Kesulitan identik dengan kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah berkutat dengan kekhawatiran dan kesedihan.

Kelapangan yang dimaksud dalam jawaban Umar merupakan bentuk penyikapan terhadap kesulitan, mengubah energi negatif menjadi energi positif. Kelapangan akan mampu mengalahkan kesulitan tatkala dalam diri pemilik kesulitan terpatri sikap optimisme.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Qs. Asy-Syarh: 5-6).

Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan pula kepasrahan jiwa. Akan tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa.

Cobalah untuk selalu berpikir positif. Buanglah jauh-jauh pikiran kotor dan negatif. Jadilah penafsir ulung yang berusaha menafsirkan segala keruwetan yang sebentar datang dan pergi itu dengan tafsiran bahwa segala sesuatu yang kita alami atau segala hal yang ditetapkan oleh Allah, sebagai hal yang baik dan positif, sesuatu yang mengandung pelajaran positif dan kebaikan, walaupun pada saat mengalaminya kita masih belum mengerti betul hikmah dan kebaikannya. Belajar dari Ibrahim, belajar berbaik sangka kepada Allah.*

Menikalah dengan Orang yang Bertakwa!


DALAM hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan agar mengutamakan faktor agama dan keshalihan dalam memilih calon suami/istri. Diantara empat faktor yang biasanya melatari pilihan seseorang, yaitu kecantikan/ketampanan, kekayaan, status sosial,dan agama, beliau menyarankan untuk mengedepankan sisi agama, agar kita beruntung. Apa sebenarnya keberuntungan yang beliau maksudkan?

Ibnu Qutaibah ad-Dinawari menceritakan dalam kitab ‘Uyunul Akhbar, bahwa seseorang berkonsultasi kepada al-Hasan al-Bashri, “Saya memiliki seorang anak gadis, dan ia sudah dilamar orang. Kepada siapa saya harus menikahkannya?” Maka, beliau pun menjawab, “Nikahkan dia dengan orang yang bertakwa kepada Allah. Jika orang itu mencintai putrimu, ia akan memuliakannya; dan jika ia membencinya, ia tidak akan menzhaliminya.”
Jadi, inilah rahasianya: perlakuan yang layak, pergaulan yang menyenangkan, dan kehidupan yang tenang. Bukankah semua itu yang paling dirindukan oleh setiap orang, sehingga ia berharap suatu saat bisa berkata: “rumahku adalah surgaku”?
Nasehat al-Hasan diatas bisa juga dimaknai bahwa “agama” dan ketakwaan bukan hanya nama dan kualifikasi akademis; namun perilaku dan tindak-tanduk. Walau pun seseorang sangat mahir ilmu-ilmu agama, namun jika perilakunya tidak mencerminkan orang berilmu (apalagi orang beragama), sebenarnya dia termasuk orang bodoh dan belum beragama. Menurut Islam, ilmu dipelajari untuk diamalkan, mengubah perilaku, dan diambil manfaatnya sehingga memberi kontribusi positif kepada kehidupan, bukan hanya untuk dipamerkan dan dibangga-banggakan.
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Dulu, bila seseorang telah mempelajari satu bab dari ilmu, maka tidak lama kemudian (pengaruhnya) bisa dilihat pada kekhusyu’annya, matanya, lisannya, tangannya, kezuhudannya, keshalihannya, dan seluruh tubuhnya. Jika seseorang telah benar-benar mengkaji satu bab ilmu (seperti itu), sungguh itu lebih baik dibanding dunia dan seisinya.” (Riwayat Ibnu Batthah dalam Ibthalul Hiyal).
Dengan kata lain, agama telah menjadi “dirinya”, baik di saat sendirian maupun bersama orang lain, susah maupun senang, kaya maupun miskin, muda maupun tua. Ibaratnya, agama telah tercampur bersama darah, seirama dengan detak jantung, dan merasuk hingga ke tulang sungsum. Seluruh aktivitasnya dikendalikan oleh nilai-nilai agama yang diyakininya, sehingga hidupnya diberkahi dan menentramkan. Bila Allah menganugerahinya kesempurnaan fisik, maka menjadi tali pengikat yang semakin mengokohkan hubungan. Bila Allah memberinya harta, maka dibelanjakannya di jalan kebajikan. Jika Allah menetapkan untuknya status sosial yang baik, maka pengaruhnya dia pergunakan untuk kebenaran.
Sebagian orang memang bisa beralasan bahwa harta yang cukup akan membuat kehidupan rumah tangga tenteram dan harmonis. Namun faktanya tidak selalu demikian, sebab harta hanyalah sarana. Bagaimana ia digunakan, sangat tergantung kepada pemiliknya. Benar, bahwa dengan harta itu seorang suami kaya mampu mencukupi istri dan keluarganya secara wajar. Tetapi jika ia tidak beragama, maka dengan kekayaannya pula ia bisa lebih mudah menyakiti istri dan keluarganya itu, misalnya membayar wanita nakal dan berselingkuh. Hal sebaliknya juga bisa dilakukan si istri, jika ia tidak beragama.
Oleh karenanya, Ibnul A’rabi berkata, “Jika engkau mencari wanita untuk diperistri tanpa pernah mengenalnya sebelum itu, maka perhatikanlah siapa ayah dan paman/bibinya (dari pihak ibu). Sebab, keduanya adalah bagian dari wanita itu, sebagaimana dia pun bagian dari mereka; mirip sepasang tali sandal. Bila yang kaucari darinya adalah harta, maka sungguh akan datang setelah itu kebosanan dan malapetaka.”
Koran, televisi, dan media massa modern adalah saksi dari kebosanan dan malapetaka tsb. Tidak sedikit suami-istri yang – menurut sebagian orang – disebut-sebut sebagai “pasangan ideal”. Konon kekayaan, kecantikan, ketampanan, bakat, dan popularitas mereka nyaris sempurna. Namun, tiba-tiba mereka terjerat kecanduan obat bius dan alkohol, perselingkuhan, pertengkaran hebat, trauma kekerasan fisik dan mental, dsb. Sepasang mantan kekasih yang dikagumi jutaan orang itu tiba-tiba bermusuhan sangat serius di pengadilan, lalu bercerai secara tragis. Mereka tidak menemukan kebahagiaan dan ketenangan bersama pasangan idealnya. Mengapa?
Kita juga sering mendengar orang-orang yang berpacaran dan melakukan “penjajakan” selama bertahun-tahun, bahkan sebagian telah tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan. Suatu saat mereka kemudian siap menikah, namun rumah tangganya terbukti hanya mampu bertahan dalam hitungan bulan. Sekali lagi, mengapa?
Baiklah. Sekarang, kita tidak usah meneliti kesalahan orang lain. Mari menyelisik motif-motif kita sendiri dalam membangun rumah tangga, dan memperbaikinya selagi masih ada kesempatan. Cara terbaik adalah sekuat tenaga menanamkan agama agar benar-benar menjadi identitas diri. Sebab, bila tidak, kita pasti menghadapi terlalu banyak masalah yang menyulitkan.
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Furqan: 74).
Menurut Imam ath-Thabari, makna ayat ini adalah: memohon agar anak dan istri kita dijadikan sebagai orang-orang yang sejuk dipandang mata, karena selalu taat kepada Allah; dan memohon agar kita dijadikan teladan bagi orang-orang yang bertakwa dalam kebaikan-kebaikan. Tentu saja, menjadi teladan dan imam bagi orang bertakwa bukan perkara mudah dan tidak bisa diraih dengan berpangku tangan, namun ia sangat layak diharapkan dan diperjuangkan. Amin. Wallahu a’lam.

Santun dan Sabar, Modal Orang yang Kuat

DALAM menjalani kehidupan tentu tidak semua berjalan sesuai dengan pikiran, keinginan dan standar-standar akan baik-buruk, pantas-tidak pantas yang kita anut atau yakini. 

Ketika yang terjadi tidak sinergis dengan harapan dan pikiran kita, yang kita bangun berdasarkan standar-standar pribadi kita itu, kita rentan untuk jadi kecewa, bahkan marah. 

Dalam keadaan tidak nyaman seperti ini, justru sebenarnya Allah sedang membentangkan jalan atau kesempatan bagi kita untuk menanam kebajikan. Yakni dengan mengelola rasa marah dan kecewa tersebut dengan jalan/cara yang Ia ridai. 

Mengelola dengan baik rasa tak nyaman, marah ataupun kecewa, adalah salah satu bentuk kebajikan yang disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’an. Firman-Nya:

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ 

Artinya, “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah Mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. 3:134). 

Jika kita merasa senang menjadi orang yang disukai atasan kita, orang-orang penting dan mulia di sekitar kita, maka tentu kita pun juga akan sangat senang dan bahagia menjadi orang yang disukai, bahkan dicintai Rabb semesta alam. 

Kita menjadi lebih mudah sabar dan berpikir positif ketika kita berhadapan dengan mereka yang kita posisikan berada di atas kita. Sebaliknya, kita lebih mudah jadi kecewa dan marah terhadap orang-orang yang –sadar atau tidak- kita posisikan di bawah kita.  Saat menghadapi orang-orang yang ‘di bawah’, maka Allah memberi tuntunan, 

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ 

Artinya, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

Menghadapi ‘orang-orang yang bodoh’, yang dalam bahasa lain mungkin bisa diterjemahkan sebagai mereka yang tak paham standar-standar berpikir, bersikap dan berperilaku lebih baik, Allah tidak mengajari kita untuk melampiaskan kemarahan pada mereka, namun dukup berpaling dari mereka. 

Teladan Rasulullah 


Bentuk kemenangan bagi diri kita adalah didatangkannya rasa tentram dan damai karena bisa memaafkan dan merelakan sikap-sikap roang yang tak sesuai dengan standar-standar kita. Adapun kemenangan relasi dengan mereka adalah bahwa kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan di masa yang akan datang karena kita tidak membuka konflik yang belum perlu kita buka. 

Adapun jika kita melampiaskan kemarahan dan kekecewaan kita, maka rasa tak nyaman di dalam hati kita malah akan semakin besar, karena sifatnya nafsu jika dipenuhi maka ia juga akan minta pemenuhan yang lebih besar lagi. Adapun hubungan kita dengan orang lain, maka akan semakin jauh dan semakin susah untuk membangun hubungan positif di masa yang akan datang. 

Firman Allah, 

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ -٣٤- وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ -٣٥-

Artinya, “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”

Sifat-sifat/tuntunan bersikap santun dan sabar juga telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dalam perikehidupan beliau. Telah akrab di telinga kita tentang orang-orang bodoh dari kalangan kafirun yang mengintimidasi beliau dengan aneka ragam siksaan, baik itu fisik maupun psikis. Beliau dituduh sebagai ahli sihir, orang yang sesat, hingga ditaburi kotoran di pundaknya saat sujud dalam salat, dilempari batu hingga berdarah, bahkan terancam nyawanya dalam peperangan. Tapi itu semua tidak membuat beliau melampiaskan emosi dan kemarahan, bahkan di saat penaklukan Makkah, beliau malah memuliakan orang yang banyak menyakitinya. Orang itu adalah Abu Sofyan, yang masih termasuk paman beliau sendiri, yang selama rentang hampir 20 tahun memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Pada hari kemenangan Islam, hari ditaklukkannya Makkah, Rasulullah malah memuliakan Abu Sofyan dengan menjadikan rumah Abu Sofyah sebagai rumah tempat mencari keamanan dan perlindungan bagi orang-orang yang menginginkannya. 

Setelah itu, Abu Sofyan yang sebelumnya sangat besar permusuhannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, berbalik menjadi sangat cinta dan setia. Bahkan, ia refleks memasang dirinya sebagai temeng bagi Rasulullah yang terjepit dalam perang Hunain. 

Demikianlah teladan yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dalam mengelola rasa tak nyaman terhadap orang-orang yang dengannya ada perselisihan. 

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra., beliau berkisah, “Ada seorang Badui kencing di dalam masjid, kemudian orang-orang bangkit untuk memukulnya, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam melarang mereka dan bersabda, ‘Biarkan dia, tungkanlah pada kencing itu setimba air. Sesungguhnya aku diutus untuk mempermudah, bukan mempersulit.” (HR. Bukhari). 

Juga dalam hadits yang diriwayatkan Anas ra., ia berkata, “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam waktu itu, beliau membawa selimut Najran yang tebal pinggirnya, dan bertemu dengan seorang Badui, kemudian ia menarik-narik selendang beliau dengan kuat. Aku melihat leher beliau terdapat bekas ujung selimut, karena kerasnya tarikan orang Badui itu. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku harta Allah yang ada padamu!’ Beliau menoleh kepada orang Badui itu, sambil tersenyum beliau menyuruh untuk memenuhi permintaan orang Badui itu.” (HR. Bukhari-Muslim). 

Sungguh dalam sabda beliau, “Yang dinamakan orang kuat adalah bukan orang yang kuat bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang dapat menendalikan hawa nafsunya pada waktu marah.” (HR. Bukhari-Muslim).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Suara Islam Khatulistiwa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger